“Tengku Luckman Sinar: Sang Sultan, Sang Sejarawan, Sang Penjaga Warisan Melayu”
Sumatera Utara pernah memiliki seorang tokoh besar yang tak hanya dihormati sebagai bangsawan, tapi juga dikenang sebagai penjaga nyala sejarah Melayu. Dialah Tengku Luckman Sinar, Sultan Serdang ke-VII yang menyandang gelar Tuanku Luckman Sinar Basarshah II. Namun, gelar kebangsawanan itu hanyalah satu dari banyak sisi keistimewaan beliau.
Lahir di lingkungan kerajaan, tepatnya di Istana Kraton Kota Galuh Perbaungan, Serdang Bedagai, pada 27 Juli 1933, Tengku Luckman tumbuh dalam atmosfer budaya dan sejarah. Sejak kecil, ia sudah akrab dengan tradisi, manuskrip tua, dan cerita-cerita kebesaran Melayu. Tapi, yang menjadikannya istimewa bukan hanya karena darah biru yang mengalir di nadinya, melainkan karena dedikasinya menjaga sejarah dan identitas bangsanya lewat ilmu pengetahuan.
Perjalanan pendidikannya dimulai dari Medan. Ia mengenyam pendidikan dasar di Hestel Lagere School (lulus 1950), lalu melanjutkan ke R.K. MULO (1953), SMA (1955), dan meraih gelar Sarjana Muda di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada 1962. Tak puas di situ, ia juga menimba ilmu kemiliteran di LPKW (1963), kuliah di Universitas Jayabaya Jakarta hingga meraih gelar Sarjana Hukum (1969), bahkan mengikuti kursus manajemen perkebunan di Bandung (1964).
Puncak pencarian intelektualnya terjadi ketika ia meneliti sejarah di Belanda pada 1976 hingga 1980, dalam program kerja sama Indonesia-Belanda. Di sana, ia menggali lebih dalam tentang jejak sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di arsip-arsip Eropa.
Sebagai sejarawan, Tengku Luckman bukan tipe yang hanya membaca, ia menulis. Dan ia menulis banyak. Di antara karya-karyanya yang terkenal adalah “Batu Kecil: Tuanku Seri Paduka Gocah Pahlawan” (1959), “Sari Sejarah Serdang” (1971), “Silsilah Kesultanan Deli dari Istana Maimun” (1975), “Sejarah Melayu di Sumatera Keseultanan Timur” (1985), dan “Perang Sunggal” (1987). Ia juga menulis dalam bahasa Inggris, seperti “The History of Medan in the Old Days” (1996).
Lewat karya-karyanya, Tengku Luckman tak hanya mencatat sejarah, tapi juga merawat memori kolektif Melayu agar tak terhapus zaman. Ia mempersembahkan hidupnya untuk budaya, tradisi, dan ilmu pengetahuan. Bahkan setelah wafat pada 13 Januari 2011, beliau masih “hidup” lewat belasan ribu koleksi buku sejarah yang ia tinggalkan yaitu harta karun intelektual yang menanti untuk dibaca oleh generasi masa depan.
Sumatera Utara, dan Indonesia, pernah memiliki penjaga peradaban yang tak ternilai yaitu Tengku Luckman Sinar. Namanya akan selalu bergema dalam lembaran sejarah Melayu.
#TengkuLuckmanSinar
#PenjagaSejarahMelayu
#WarisanBudayaSumatera
#SultanSejarawan
#JejakMelayuNusantara